Kamis, 16 Januari 2014


Nuansa..

Malam ini aku melihat bulan menertawaiku, aku menengadah pada bintang, dan ia juga sedang mencibirku.. Aku masih setia berbisik pada semilir angin, tentang gemuruh dalam hatiku, tentang  degupan jantungku yang tak memandang aturan, tentang kerisauanku pada satu sosok  yang kunamai “nuansa”.. dan entah mengapa kini aku tak merasakan kesejukan yang biasa dihadiahkan angin, untuk mengusap peluhku. aku tak merasakan ketenangan yang ia selalu berikan setiap aku menetestan air mata, aku tak merasakan apapun sebagai tanda bahwa ia turut merasakan apa yang aku rasakan.. tentang cinta, tentang kasih, tentang Nuansaku..


Lalu butiran airmata kembali menampakkan dirinya, turun menapaki wajah yang seiring waktu semakin muram. Diikuti isakan dari pita suaraku yang membuat dadaku sesak. Aku menangis, untuk keseribuenamratus kalinya karena nuansa. Aku menangisi rasa yang tak pernah bisa kutepis. Aku menangisi rasa yang tak pernah mau mau mengalah dengan akal sehatku. 


Pikiranku terbang bersama angin ke beberapa hari yang lalu, Hari itu,Tepat ketika jarum panjang dan pendek sepakat berhenti di angka dua. Saat dimana aku merasakan, ketidakbersamaan sudah menapak dalam jalinan yang sempat dihias karpet kasih. Aku tahu waktu ia sedang melipat tangan dan memanjatkan doa-doa pada Sang Khalik. Aku tahu sekarang ia sedang menapaki satu babak baru untuk memulai apa yang menurutnya benar. Ah Nuansa..


Dan di saat yang sama, hatiku berbicara jua pada Sang Pemilik semesta. Berbicara tentang segala kebaikan yang kuminta agar Ia hadiahkan untuk Nuansa, berbicara tentang berkat dan masa depan yg akan Ia hadirkan untuk Nuansa, berbicara bahwa apa yang kurasakan pada Nuansa, berbicara tentang segalanya,..


Dan saat aku membuka kedua kelopak mata di sendunya wajahku. Ku dengar lapangan pun sedang menertawaiku, ia tak sendiri, ia bersama bulan, kilauan bintang itu, angin, ahhhhh
Apa? Mereka mau apa lagi dariku?


Aku hanya hawa, pantaskah aku mengucap rindu pada adamku, “nuansa”. Pantaskah aku menyuarakan sukacita karena  nuansa yang semakin dewasa?..

 

Aku menangis sampai dadaku sesak, baru mereka berhenti tertawa.. lalu memelukku dalam keheningan.. aku bisa merasakan rasa bersalah mereka. .


Dan kudengar mereka berbisik, “maaf kami tertawa karena untuk mengungkap kerinduanmu pun,kau tak berani". Sebenarnya cinta yang kau agungkan hanya akan membuatmu bermuram dalam kepahitan. Tentang cinta, tentang Nuansaku.